Zat kimia berbahaya dalam polusi udara bisa menyebabkan pembengkakan di organ dalam tubuh.
VIVAnews – Kemacetan lalu lintas adalah pemandangan sehari-hari di kota besar termasuk Jakarta. Setiap jam berangkat dan pulang kantor mau tidak mau kita pasti akan menghadapi kemacetan.
Saat jam makan siang pun lalu lintas kendaraan di Jakarta selalu padat. Jika setiap hari terjebak kemacetan, ternyata efeknya bagi kesehatan sangat berbahaya, yaitu meningkatkan risiko serangan jantung.
Sebuah penelitian di Jerman mengungkapkan bahwa seseorang yang mengalami serangan jantung lebih dari tiga kali, biasanya sering terperangkap dalam kemacetan sebelum serangan itu muncul. Risiko ini lebih besar dialami oleh wanita, pria tua, dan orang yang sering terkena nyeri dada.
Hal itu diungkapkan Annette Peters, kepala penelitian yang meneliti 1454 pasien serangan jantung. Menurut Peters, risiko serangan jantung tiga kali lebih besar dialami oleh seseorang yang menggunakan transportasi umum atau sepeda.
“Mengendarai atau menaiki kendaraan dalam situasi macet parah memang bisa meningkatkan resiko serangan jantung,” kata Peters seperti dikutip dariwww.msnbc.msn.com.
Polusi udara dan stres
Kemacetan identik dengan tingginya polusi udara dan stres. Hal inilah yang menjadi pemicu serangan jantung. “Mungkin salah satu faktor penyebab serangan jantung adalah polusi udara yang berasal dari antrean mobil saat macet," kata Peters.
Menurut Dan Greenbaum kepala Health Effects Institute di Boston, polusi udara saat macet memang sangat berpengaruh sebagai pemicu serangan jantung.
“Polusi udara, stres, polusi suara adalah hal yang bisa berefek buruk pada kesehatan tubuh,” kata Greenbaum. “Ada bukti tambahan bahwa polusi udara yang berakumulasi dalam jangka waktu panjang bisa menyebabkan penyakit jantung koroner.”
Ia menambahkan, polusi udara juga menjadi penyebab masalah pernapasan, penyakit paru-paru.
Partikel ultrafine
Partikel ultrafine yang terdapat pada polusi udara adalah zat berbahaya. Para peneliti percaya bahwa partikel-partikel kecil yang terdapat pada polusi udara masuk dapat masuk ke dalam paru-paru, melewati darah dan jantung.
Sebuah penelitian di Jerman mengungkapkan bahwa seseorang yang mengalami serangan jantung lebih dari tiga kali, biasanya sering terperangkap dalam kemacetan sebelum serangan itu muncul. Risiko ini lebih besar dialami oleh wanita, pria tua, dan orang yang sering terkena nyeri dada.
Hal itu diungkapkan Annette Peters, kepala penelitian yang meneliti 1454 pasien serangan jantung. Menurut Peters, risiko serangan jantung tiga kali lebih besar dialami oleh seseorang yang menggunakan transportasi umum atau sepeda.
“Mengendarai atau menaiki kendaraan dalam situasi macet parah memang bisa meningkatkan resiko serangan jantung,” kata Peters seperti dikutip dariwww.msnbc.msn.com.
Polusi udara dan stres
Kemacetan identik dengan tingginya polusi udara dan stres. Hal inilah yang menjadi pemicu serangan jantung. “Mungkin salah satu faktor penyebab serangan jantung adalah polusi udara yang berasal dari antrean mobil saat macet," kata Peters.
Menurut Dan Greenbaum kepala Health Effects Institute di Boston, polusi udara saat macet memang sangat berpengaruh sebagai pemicu serangan jantung.
“Polusi udara, stres, polusi suara adalah hal yang bisa berefek buruk pada kesehatan tubuh,” kata Greenbaum. “Ada bukti tambahan bahwa polusi udara yang berakumulasi dalam jangka waktu panjang bisa menyebabkan penyakit jantung koroner.”
Ia menambahkan, polusi udara juga menjadi penyebab masalah pernapasan, penyakit paru-paru.
Partikel ultrafine
Partikel ultrafine yang terdapat pada polusi udara adalah zat berbahaya. Para peneliti percaya bahwa partikel-partikel kecil yang terdapat pada polusi udara masuk dapat masuk ke dalam paru-paru, melewati darah dan jantung.
Partikel tersebut bisa menyebabkan inflamasi atau pembengkakan pada paru-paru yang mempengaruhi sinyal elektronik pada tubuh termasuk jantung.
Penelitian tersebut termuat dalam New England Journal of Medicine. Peter memfokuskan penelitiannya pada pasien serangan jantung di Jerman antara bulan Februari 1999 dan Desember 2003 yang berhasil selamat 24 jam setelah serangan muncul.
Penelitian tersebut termuat dalam New England Journal of Medicine. Peter memfokuskan penelitiannya pada pasien serangan jantung di Jerman antara bulan Februari 1999 dan Desember 2003 yang berhasil selamat 24 jam setelah serangan muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar