website trackingwebsite tracking

PTC..PELUANG DAPAT UANG HANYA DENGAN MODAL KLIK

Cara Instan Untuk Verifikasi PayPal !

Selasa, 12 Juni 2012

WHO: Asap Diesel Picu Kanker


E-LIFE
Rabu, 13 Juni 2012 , 12:41:00


JENEWA - Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) meningkatkan level peringatan gas buang knalpot diesel sebagai salah satu pemicu kanker.  Karenanya, WHO mengimbau adanya standar emisi yang lebih ketat serta menyamakan risiko gas buang knalpot dengan asap rokok.

Pengumuman itu disampaikan setelah pakar-pakar internasional selama seminggu mengkaji ulang penelitian baru termasuk kajian jangka panjang atas 12 ribu penambang yang terpapar gas buang diesel. Hal ini diharapkan bakal mendorong banyak negara memperketat standar emisi diesel.

Dengan naiknya level peringatan ini, WHO mengharapkan institusi bisnis melakukan berbagai inovasi alternatif bahan bakar. Dicontohkan seperti bahan bakar rendah-sulfur, desain mesin baru dan kendali gas buang yang lebih baik, terutama di Amerika Utara dan Eropa.

"Bukti ilmiah menyimpulkan knalpot mesin diesel menyebabkan kanker paru-paru pada manusia yang terpapar secara terus menerus," ujar Dr Christopher Portier, pemimpin peneliti kajian gas buang diesel, seperti dikutip BBC, (12/6).

Mengingat dampak kesehatan dari paparan partikulat diesel, maka pemakaiannya harus dikurangi seluruh dunia, lanjutnya. Namun,dampak pada populasi lebih besar yang terkena paparan lebih rendah dan dalam waktu dekat, masih belum diketahui.

Departemen Kesehatan Inggris menyatakan akan berhati-hati atas laporan tersebut. Pasalnya, polusi udara adalah masalah kesehatan masyarakat yang signifikan dan merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Sebelumnya, hasil penelitian dalam Jurnal Asosiasi Medis Amerika (JAMA) yang menggabungkan hasil dari 34 penelitian, menemukan hubungan secara statistik yang signifikan antara risiko serangan jantung dan sejumlah besar polutan udara, kecuali ozon.(esy/jpnn)
http://www.jpnn.com

MASALAH EMOSI Yang Dapat Bikin Gemuk


Mengatasi masalah emosional terkadang bisa jadi cara terbaik untuk menurunkan berat badan. Terkadang yang menjadi penyebab naiknya berat badan bukan dari lingkungan atau fisik, melainkan masalah emosi. Setidaknya ada tiga perubahan emosi yang bisa bikin orang menjadi gemuk.
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian pengobatan obesitas telah diperluas dengan mencakup penyebab psikologis. Studi telah mengidentifikasi emosi mungkin memainkan peran dalam kenaikan berat badan, obesitas dan penurunan berat badan.
Ada tiga masalah emosi yang bisa menyebabkan kenaikan berat badan, seperti dilansir about.com, Rabu (29/2/2012):
1. Stres
Bagi kebanyakan orang, alasan makan adalah untuk mengisi perut dan menghasilkan tenaga. Tapi pada saat stres, beberapa orang menggunakan makanan sebagai cara terbaik untuk menenangkan emosi. Makan karena emosi (emosional eating) tidak selalu menyebabkan kenaikan berat badan untuk semua orang, namun ini bisa menjadi penyebab obesitas pada beberapa orang.
Dalam sebuah studi tentang pola makan dan kebiasaan olahraga dari ibu obesitas, peneliti menemukan bahwa stres memicu makan berlebihan dan mencegah perempuan mempraktikkan kebiasaan sehat.
Menghindari stres tidak selalu memungkinkan. Tapi teknik relaksasi dapat menjadi alternatif yang sehat untuk mengelola emosi selama masa stres.
2. Depresi
Dalam sebuah tinjauan literatur obesitas, satu kelompok peneliti mengidentifikasi beberapa cara di mana depresi dapat menyebabkan obesitas. Salah satunya beberapa antidepresan yang sering diresepkan dapat menyebabkan kenaikan berat badan.
Para peneliti juga mencatat bahwa kurang tidur, gejala yang umum dari depresi, juga merupakan faktor risiko obesitas. Tidak aktif dan kurang olahraga, gejala lain depresi, juga dapat memicu berat badan meningkat.
Jika Anda sedang berjuang melawan obesitas, melakukan diskrining untuk depresi mungkin menjadi langkah yang wajar. Pertimbangkan berbicara dengan dokter perawatan Anda tentang mendapatkan rujukan ke seorang profesional kesehatan mental.
3. Trauma personal atau masa kecil
Beberapa peneliti telah menemukan bahwa orang yang terkena kekerasan fisik, pelecehan seksual atau bullying (olok-olokan) berada pada risiko tinggi untuk obesitas.
detik.com

Sentuhan Lembut Redakan Emosi



ilustrasi (fineartamerica.com)
Jangan remehkan efek sentuhan. Menurut sejumlah peneliti, sentuhan ternyata dapat meredakan emosi, meski semua tergantung siapa yang menyentuh.
Sebuah penelitian terbaru mengungkap adanya hubungan erat antara emosi dan kerja otak merespons sentuhan. Penelitian itu dikembangkan dengan memindai otak manusia heteroseksual. Peneliti memantau bagaimana mereka merespons perlakuan sensual dari wanita cantik dibandingkan dengan pria maskulin.
Hasilnya, orang-orang tersebut lebih responsif terhadap sentuhan ala wanita dibanding sentuhan pria. Hsil itu didapat dari pengukuran menggunakan pemindai function magnetic resonance imaging (fMRI) untuk mengetahui perubahan aliran darah di otak.
“Kami menemukan, bagaimana salah satu bagian otak cukup sensitif merespons sentuhan,” ujar peneliti, Michael Spezio seperti dilansir Livecience, kemarin (10/6).
Menurut Spezio, kondisi tersebut menunjukkan persepsi sosial akibat sentuhan akan memengaruhi persepsi dari sensasi fisik.(ali)

sumber : http://www.solopos.com

4 Penelitian Paling Gila Di Dunia


Berbagai penemuan hebat di dunia dimulai dengan penelitian panjang. Tak jarang ilmuwan melakukan penelitian ekstrem untuk menguak rahasia ilmu pengetahuan.
Berikut ini beberapa di antaranya seperti dilansir Wall Street Journal dan dikutipNewser, kemarin (10/6).
- Pada 1946, sebanyak 90 orang ditawari bekerja di kapal tak jauh dari pusat uji coba bom atom Bikini Atoll milik Navy AS. Hal itu dilakukan untuk membantu peneliti mengumpulkan data biologis manusia yang dinilai lebih menjanjikan dibandingkan binatang. Namun, akhirnya penelitian itu batal karena penolakan publik.
- Profesor dari Universitas Alamaba Allan Walker Blair rela digigit laba-laba mematikan “black widow” selama 10 detik untuk mendapat racun yang sempurna. Ia pun harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Seorang ahli fisika mengatakan, belum pernah ada kesakitan lebih besar dari efek gigitan hewan itu.
- Shimesu Koino, dokter spesialis anak di Jepang menelan 2.000 telur cacing gelang untuk mempelajari alur hidupnya. Sayang, infeksi yang ia derita sangat buruk, dan memuntahkan semua.
- Herbert Woollard dan Edward Carmichael, doctors based in London, menumpuk beban pada testikelnya demi meneliti alur rasa sakit.

sumber : http://www.solopos.com

baby laughing

Penyebab Pasien Stroke Susah Sembuh


Merry Wahyuningsih - detikHealth

img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Stroke memang merupakan penyebab kecacatan dan kematian utama di dunia, tapi dengan penanganan yang cepat dan tepat, pasien stroke bisa diobati dan kembali aktif. Sayangnya, ada beberapa faktor yang membuat pasien stroke susah sembuh. Apa saja?

Stroke adalah gangguan fungsi saraf baik berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara atau penurunan kesadaran yang terjadi secara mendadak akibat gangguan peredaran darah ke otak.

Tingginya angka kejadian stroke baru dan kecacatannya di negara berkembang (seperti Indonesia) tidak dapat dilepaskan dari kurangnya pemahaman tentang stroke. Permasalahan yang muncul adalah kurang dikenalinya gejala stroke.

"Stroke dapat diobati. Pengobatan stroke yang optimal berpacu dengan waktu. Semakin cepat mendapat pertolongan, maka semakin besar kemungkinan terhindar dari kematian dan kecacatan akibat stroke," jelas Prof dr Teguh AS Ranakusuma, SpS (K), dokter spesialis saraf dari Departemen Neurologi FKUI RSCM, dalam acara seminar 'Don't Worry Be Happy After Stroke' di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jumat (3/12/2010).

Menurut Prof Teguh, angka kematian akibat stroke bervariasi, semakin cepat mendapat pertolongan maka akan semakin besar kemungkinan untuk sembuh.

Ada sekitar 70 persen orang dapat selamat dari serangan stroke (stroke survivors). Tapi masih banyak stroke survivors yang mengalami kecacatan, mulai dari kecacatan ringan hingga berat setelah serangan stroke (pasca stroke).

Kenapa pasien stroke susah sembuh?

Prof Teguh mengatakan kecacatan pasca stroke ini sering membuat pasien dan keluarga pasien sangat terpuruk dan berdampak tidak hanya pada fisik, tetapi juga secara sosial, ekonomi dan psikologi. Kondisi mental yang drop kebanyakan yang menyebabkan pasien susah sembuh.

"Jangan biarkan pasien terlantar di rumah, tetapi juga jangan terlalu mengasihaninya. Bantu mereka untuk mandiri melakukan aktivitas sehari-hari dan selalu berikan semangat agar mau kembali sembuh. Untuk sembuh butuh semangat dari diri pasien sendiri dan tentu saja dukungan dari keluarga," kata Prof dr Harsono, SpS (K), dari bagian IP Saraf FK UGM dan SMF Panyakit Saraf RS Dr Sardjito.

Sedangkan Prof Dr Ir Tati R Mengko, Guru Besar Fakultas Teknik Elektronika dan Informatika ITB, yang juga merupakan stroke survivors mengaku bahwa keluarga bisa menjadi penolong yang bisa membantu stroke survivors sembuh dengan lebih cepat. Tapi kadang keluarga yang terlalu mengasihani justru membuat pasien tak kunjung sembuh karena tidak bisa mandiri.

"Kunci utamanya adalah pasien dan keluarga pasien harus mau menerima dan melakukan adaptasi dengan keadaan tersebut. Pasien tidak boleh cengeng dan keluarga juga tidak boleh mengasihani pasien. Dikasihani itu tidak enak," kata Prof Tati.

Jangan kasihani pasien stroke tapi pedulilah dengan pasien stroke, karena pasien stroke yang terlalu cengeng dan selalu dikasihani kebanyakan tidak ada daya juan
(mer/ir


Sumber : detik.com

Kemacetan Tingkatkan Risiko Serangan Jantung



Zat kimia berbahaya dalam polusi udara bisa menyebabkan pembengkakan di organ dalam tubuh.

SENIN, 16 MARET 2009, 16:04 WIB
Irma Kurniati, Mutia Nugraheni
VIVAnews – Kemacetan lalu lintas adalah pemandangan sehari-hari di kota besar termasuk Jakarta. Setiap jam berangkat dan pulang kantor mau tidak mau kita pasti akan menghadapi kemacetan.
Saat jam makan siang pun lalu lintas kendaraan di Jakarta selalu padat. Jika setiap hari terjebak kemacetan, ternyata efeknya bagi kesehatan sangat berbahaya, yaitu meningkatkan risiko serangan jantung.

Sebuah penelitian di Jerman mengungkapkan bahwa seseorang yang mengalami serangan jantung lebih dari tiga kali, biasanya sering terperangkap dalam kemacetan sebelum serangan itu muncul. Risiko ini lebih besar dialami oleh wanita, pria tua, dan orang yang sering terkena nyeri dada.

Hal itu diungkapkan Annette Peters, kepala penelitian yang meneliti 1454 pasien serangan jantung. Menurut Peters, risiko serangan jantung tiga kali lebih besar dialami oleh seseorang yang menggunakan transportasi umum atau sepeda.

“Mengendarai atau menaiki kendaraan dalam situasi macet parah memang bisa meningkatkan resiko serangan jantung,” kata Peters seperti dikutip dariwww.msnbc.msn.com.

Polusi udara dan stres
Kemacetan identik dengan tingginya polusi udara dan stres. Hal inilah yang menjadi pemicu serangan jantung. “Mungkin salah satu faktor penyebab serangan jantung adalah polusi udara yang berasal dari antrean mobil saat macet," kata Peters.

Menurut Dan Greenbaum kepala Health Effects Institute di Boston, polusi udara saat macet memang sangat berpengaruh sebagai pemicu serangan jantung.

“Polusi udara, stres, polusi suara adalah hal yang bisa berefek buruk pada kesehatan tubuh,” kata Greenbaum. “Ada bukti tambahan bahwa polusi udara yang berakumulasi dalam jangka waktu panjang bisa menyebabkan penyakit jantung koroner.”

Ia menambahkan, polusi udara juga menjadi penyebab masalah pernapasan, penyakit paru-paru.

Partikel ultrafine 
Partikel ultrafine yang terdapat pada polusi udara adalah zat berbahaya. Para peneliti percaya bahwa partikel-partikel kecil yang terdapat pada polusi udara masuk dapat masuk ke dalam paru-paru, melewati darah dan jantung.
Partikel tersebut bisa menyebabkan inflamasi atau pembengkakan pada paru-paru yang mempengaruhi sinyal elektronik pada tubuh termasuk jantung.

Penelitian tersebut termuat dalam New England Journal of Medicine. Peter memfokuskan penelitiannya pada pasien serangan jantung di Jerman antara bulan Februari 1999 dan Desember 2003 yang berhasil selamat 24 jam setelah serangan muncul.

Berhentilah Merokok Sebelum Hamil 15 Minggu Wanita hamil disaranka


segera berhenti merokok sejak masa awal kehamilan.

RABU, 1 APRIL 2009, 07:00 WIB
Nenden Novianti
VIVAnews – Wanita hamil yang berhenti merokok sebelum minggu ke-15 kehamilan mengurangi risiko akan kelahiran premature dan memiliki bayi dengan berat badan kurang, dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok, demikian kata hasil studi.

Sudah diketahui bahwa merokok selama hamil meningkatkan risiko keguguran, kelahiran premature, bayi berberat badan kurang, dan bayi lahir meninggal. Tapi tak ada penelitian hingga sekarang yang berhasil menunjukkan apakah berhenti merokok dalam masa awal kehamilan akan mengurangi bayi berberat badan kurang dan kelahiran prematur.

“Wanita hamil yang merokok disarankan untuk berhenti merokok sejak masa awal kehamilan, “ kata peneliti utama Dr.Lesley McCowan, professor obstetrics dan ginekolog di Universitas Auckland di Selandia Baru.

Wanita yang tak berhenti merokok setelah 15 minggu, tiga kali berisiko melahirkan secara premature dan dua kali kemungkinan lebih besar memiliki bayi berberat badan kurang, dibandingkan wanita yang berhenti merokok,  kata McCowan.
Untuk penelitian ini, McCowan mengumpulkan data dari 2.504 wanita hamil. Delapan puluh persen tidak merokok, 10 persen baru saja berhenti merokok dan 10 persen masih merokok.
Tak ada perbedaan dalam tingkat spontanitas kelahiran premature antara wanita yang tidak merokok dan mereka yang berhenti merokok pada minggu ke-15, sama-sama empat persen. Begitu juga pada kasus bayi berberat badan kurang, 10 persen berbanding 10 persen.
Wanita yang terus merokok memiliki tingkat spontanitas kelahiran premature lebih tinggi daripada yang berhenti merokok, 10 persen berbanding empat persen, dan angka yang lebih tinggi pula bagi bayi berberat badan kurang, 17 persen berbanding 10 persen.
Penelitian ini juga menemukan fakta, bahwa wanita yang berhenti merokok berkurang stresnya dibanding mereka yang masih terus merokok.

Stop Merokok dengan Minum Susu


Susu dan segala produk olahannya membuat rasa rokok tak nikmat lagi.

RABU, 22 APRIL 2009, 13:46 WIB
Irma Kurniati
VIVAnews - Ingin menghentikan kebiasaan merokok dengan cara yang mudah? Anda bisa memulai kebiasan minum susu.

Minum susu bukan hanya baik untuk memenuhi kebutuhan kalsium untuk menguatkan tulang. Rutin mengonsumsi susu juga bisa menjadi terapi untuk menghentikan kebiasaan merokok.

Menurut sebuah penelitian yang dimuat dalam Journal Nicotine and Tobacco Research, minum susu bisa membuat para pecandu rokok kehilangan selera merokok.

Penelitian ini melakukan pengujian terhadap 209 perokok. Para responden diminta menuliskan makanan atau cita rasa apa yang bisa membuat mereka enggan merokok atau membuat rasa rokok yang mereka hisap menjadi tidak enak atau justru sebaliknya, membuat rasa rokok lebih nikmat..

Sebanyak 19% responden menyatakan bahwa susu atau produk olahan susu seperti keju dan yogurt membuat rasa rokok jadi tidak nikmat. Sejumlah 16% mengatakan buah dan sayuran, sedangkan 14% menjawab minuman tanpa kafein misalnya air atau jus buah.

Sedangkan yang bisa menambah nikmat rasa rokok adalah minuman yang mengandung kafein. Misalnya kopi, teh, dan cola. Sebanyak 44% menjawab alkohol bisa membuat rasa roko lebih enak. Dan 11% mengaku daging bisa membuat hasrat merokok lebih tinggi.

"Dengan mengetahui jenis makanan atau minuman yang bisa membuat rasa rokok menjadi tidak enak, Anda bisa menghentikan kebiasaan merokok," kata salah satu peneliti, Jed E. Rose dari Duke University Medical Center.

Hasil penelitian ini menunjukkan susu merupakan bahan makanan yang paling tinggi membuat rasa roko jadi tak enak. Tapi menurut Rose, hal itu bergantung juga pada jenis rokok serta selera masing-masing orang.

Rokok Picu Hormon Seks Penyebab Penyakit Akut


Selain mengandung racun, rokok juga memengaruhi hormon tubuh.

MINGGU, 4 SEPTEMBER 2011, 16:57 WIB
Anda Nurlaila
VIVAnews - Berbagai studi menunjukkan kebiasaan merokok atau mengirup asap rokok berefek lebih buruk pada wanita daripada pria. Studi terbaru mengungkap, salah satu bahaya merokok adalah mengubah hormon dalam tubuh, terutama wanita pascamenopause.

Perokok di usia menopause memiliki tingkat hormon seks lebih tinggi sehingga memicu  risiko terjadinya penyakit kronis dibandingkan mereka yang bukan perokok.

"Peningkatan kadar hormon seks pada perokok menunjukkan bahwa asap rokok, selain berefek langsung akibat racun karsinogenik, juga memengaruhi risiko penyakit kronis melalui mekanisme hormonal," kata Judith Merek, dari Medical Center Universitas Utrecht di Belanda, penulis utama studi tersebut.

"Kabar baiknya, efek rokok tampaknya reversibel. Hormon seks akan langsung turun begitu wanita berhenti merokok," ujarnya kepada Times of India.

Dalam studi ini, peneliti memeriksa sampel darah dari 2.030 wanita pascamenopause berusia 55-81 tahun, yang dikategorikan sebagai 'perokok', 'mantan perokok' atau 'tidak pernah' merokok.

Mereka menemukan, wanita perokok memiliki kadar androgen dan estrogen lebih tinggi dibanding dua kelompok lain. Sedangkan 'mantan' perokok yang telah berhenti dalam waktu 1-2 tahun memiliki kadar hormon seks sama dengan wanita yang 'tidak pernah' merokok.

Studi ini akan dipublikasikan dalam Jurnal The Endocrine Society of Clinical Endocrinology Metabolism (JCEM). (umi)

sumber : http://kosmo.vivanews.com

Bintik Kuning di Mata Tanda Penyakit Jantung



Bintik atau garis kuning merupakan endapan kolesterol.

SENIN, 19 SEPTEMBER 2011, 10:59 WIB
Mutia Nugraheni
VIVAnews - Bercerminlah dan perhatikan mata Anda. Segera periksakan diri ke dokter jika terdapat garis atau bintik kuning di kulit sekitar kelopak mata. Itu karena garis tersebut bisa jadi penanda penyakit jantung.

Hal tersebut merupakan hasil  penelitian yang dilakukan tim dari University of Copenhagen, Denmark, dengan melibatkan lebih dari 12 ribu orang. Seseorang dengan kondisi yang juga dikenal sebagaixanthelasmata ini, cenderung mendapat serangan jantung atau meninggal dunia dalam waktu 10 tahun.

Bintik atau garis kuning merupakan endapan kolesterol, tidak menimbulkan rasa sakit ataupun mengganggu penglihatan. Tetapi banyak orang ke dokter kulit untuk bisa menyamarkan atau menghilangkannya. Menurut penelitian yang dipublikasi secara online di British Medical Journal, orang dengan xanthelasma harus memeriksakan ke dokter.

Seseorang dengan xanthelasmata berisiko 12 persen lebih besar mengalami penyakit jantung dibandingkan seseorang yang tidak mengalami kondisi ini. Bintik kuning di sekitar kelopak mata ini lebih bisa diandalkan sebagai tanda penyakit jantung pada wanita.

"Prevelensi xanthelasmata tidak jauh berbeda antara pria dan wanita. Tetapi, pada wanita tanda ini bisa jadi prediksi yang lebih baik dibandingkan pada pria," kata Profesor Anne Tybjaerg-Hansen dari University of Copenhagen, seperti dikutip dari Daily Mail.

Hal ini, menurut Anne, dapat menjelaskan fakta bahwa pria dan wanita memiliki faktor risiko yang sama dalam hal penyakit jantung.  Tim peneliti mengungkap, temuan ini secara jelas menemukan untuk pertama kalinya bahwa orang denganxanthelasmata memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

Studi ini juga menemukan garis warna putih atau abu-abu di sekitar kornea, yang dalam istilah medis dikenal sebagai arcus corneae, tidak terkait dengan peningkatan risiko penyakit jantung. Dalam penelitian ini, Profesor Anne mencatat riwayat kesehatan 12.745 responden dari 1976 hingga Mei 2009. Usia mereka antara 20 hingga 93 tahun dan tidak terkena penyakit jantung pada awal proyek penelitian
.

Stupid Goal Keeper

Pria Lebih Banyak Mati Muda daripada Wanita

Jakarta, Pria memang lebih banyak mengambil risiko yang membahayakan bagi kesehatan dan nyawanya. Namun meski faktor-faktor tersebut dihilangkan, faktanya pria lebih banyak mati muda daripada wanita.

Dulu risiko mati muda pria terjadi karena pertempuran atau peperangan. Sementara saat ini risiko mati muda pria karena sering mengambil risiko untuk merespons tantangan yang membahayakan sehingga pria lebih mungkin mati muda daripada perempuan.

Tapi jika faktor darah muda tersebut dihilangkan, seperti dikutip dariPsychologyToday, Jumat (5/8/2011) fakta pendukung yang mencolok tetap ada: Pada setiap usia dan tahap kehidupan, pria lebih cepat mati daripada wanita.

Data tahun 1998 di Amerika Serikat, di antara orang-orang berusia di atas 65 tahun tercatat sebanyak 4.655 pria kulit putih dan 132 pria Afrika-Amerika (kulit hitam atau negro) bunuh diri. Sebaliknya, hanya 902 perempuan kulit putih dan 20 wanita Afrika-Amerika bunuh diri di tahun yang sama.

Kesenjangan gender dalam kematian bukan hanya suatu hal aneh di Amerika Serikat. Sebuah studi baru di 20 negara mengungkapkan bahwa laki-laki berisiko besar mengalami mati muda baik di Irlandia, Australia, Singapura maupun El Salvador. Kesenjangan gender meningkat sejak tahun 1940-an dan telah tumbuh semakin besar dalam beberapa tahun terakhir.

Tidak ada yang yakin mengapa hal itu terjadi. Apakah ada sesuatu tentang kromosom Y yang membuat pria rentan mati muda?

Laki-laki mendapat kromosom X dan Y, sementara perempuan hanya mendapat dua X. Dan X kedua mampu menyediakan duplikasi genetik lebih banyak daripada yang dapat dimuat kromosom Y. Penjelasan genetik atas perilaku yang pria yang rumit itu telah menjadi tren selama sepuluh tahun terakhir, namun tak banyak memberikan hasil yang baik.

Petunjuk yang menarik muncul dari penelitian lain, terutama yang mencakup informasi tentang dukungan sosial. Dukungan sosial diketahui berfungsi untuk mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Pengaruh dukungan sosial sebegitu besarnya sehingga kekurangan dukungan sosial disebut-sebut sebagai penyebab kematian dalam kasus merokok contohnya.

Para peneliti baru-baru ini melihat pemikiran bunuh diri pada orang-orang tua dan menemukan bahwa mereka yang memiliki pikiran bunuh diri cenderung kurang memiliki dukungan emosional dari orang sekitarnya. Mereka juga nampaknya kurang mendapat dukungan yang berasal dari keyakinan spiritual atau agama yang kuat.

Jenis kelamin juga berbeda secara dramatis dalam mendapat dukungan sosial. Alasannya cukup sederhana, pria lebih kompetitif sehingga membatasi dukungan, sedangkan wanita lebih kooperatif. Akibat yang ditimbulkan dari persaingan antara laki-laki bisa seumur hidup. Meskipun pria kadang-kadang mencemoohnya, wanita cenderung mengembangkan jaringan sosial sehingga mereka dapat memanggil teman-temannya pada saat stres. Secara harfiah, hal ini dapat menyelamatkan nyawa.

Telah lama diselidiki bahwa kecenderungan perempuan untuk mencari dukungan sosial mungkin merupakan hasil dari perannya membesarkan anak. Memelihara memiliki definisi kecenderungan untuk membutuhkan orang lain. Apalagi otak manusia dirancang saling terhubung untuk bekerjasama, baik laki-laki ataupun perempuan.

Para ilmuwan di Emory University di Atlanta memindai otak orang-orang dalam situasi di mana mereka bisa memilih untuk bekerja sama atau mendapatkan keuntungan dengan mengkhianati satu sama lain. Scan otak menunjukkan bahwa orang bekerja sama karena rasanya menyenangkan untuk dilakukan.

Ketika mereka melakukannya, mereka mengaktifkan sirkuit saraf yang merupakan bagian dasar dari sistem penghargaan di otak. Sirkuit tersebut adalah sirkuit yang bisa diaktifkan ketika kecanduan narkoba atau mengalami kesenangan lain seperti makan, seks dan mencapai keberhasilan.

"Penelitian kami untuk pertama kalinya menunjukkan bahwa kerjasama sosial secara intrinsik bermanfaat untuk otak manusia, bahkan dalam menghadapi tekanan dan kesenangan," kata penelitian psikiater Gregory S. Berns, MD, Ph.D.

Ini menunjukkan bahwa dorongan altruistik untuk bekerja sama secara biologis telah tertanam, baik diprogram secara genetik atau diperoleh melalui sosialisasi masa kanak-kanak dan rema
(ir/ir


sumber : http://health.detik.com/

Penderita Diabetes Lebih Moody dan Depresi

imgJakarta, Orang yang mengidap penyakit diabetes cenderung menderita depresi, mudah cemas dan marah jika kadar gula darahnya tak terkontrol dengan baik.

Oleh karena itu Dr. Satish Garg, pemimpin redaksi Diabetes Technology & Therapeutics dan profesor kedokteran dan kedokteran anak di University of Colorado Denver dalam artikelnya menuliskan bahwa peningkatan pemahaman tentang hubungan antara variabilitas glikemi dan gangguan psikologis dapat membantu kita menyusun strategi-strategi yang efektif untuk mengelola kondisi pasien.

"Hal ini karena gangguan mood dan kaitannya dengan rendahnya kontrol glukosa yang dapat menyebabkan komplikasi diabetes jangka panjang adalah
kekhawatiran yang luar biasa," ujar Garg seperti dilansir dariUPI.com, Rabu (9/5/2012).

"Namun kami masih belum tahu kondisi mana yang datang lebih dulu. Hal ini membutuhkan investigasi lebih lanjut, terutama dengan menggunakan teknologi yang lebih baru seperti pemantauan glukosa secara kontinyu," lanjutnya.

Hasil penelitian ini didapatkan Garg dari Sue Penckofer dari Loyola University Chicago di Maywood, Ill., dan koleganya dari University of Illinois, Chicago, Saint Mary's College, Notre Dame and Integrated Medical Development di Princeton Junction, N.J. yang melakukan pemantauan glukosa secara kontinyu dari sekelompok wanita penderita diabetes tipe 2.

Dalam artikel berjudul 'Does Glycemic Variability Impact Mood and Quality of Life?' tersebut, Gard juga mengungkapkan bahwa peneliti menemukan variabilitas glikemi yang lebih besar mungkin saja berkaitan dengan mood negatif dan rendahnya kualitas hidup.


sumber : http://health.detik.com/

Orang yang Makan Makanan Rumah Lebih Sehat dan Panjang Umur


Putro Agus Harnowo - detikHealth

img
ilustrasi (foto: Thinkstock)
Jakarta, Di zaman yang serba sibuk, jarang ditemui orang yang mau memasak sendiri di rumah. Membeli makanan di luar memang lebih praktis dan bervariasi, namun belum tentu sehat. Sebuah penelitian menemukan bahwa orang yang sering makan di rumah lebih panjang umur dibanding orang yang banyak jajan di luar.

Gabungan ilmuwan dari Monash University, National Defense Medical Centre di Taiwan dan National Health Research Institutes di Taiwan berusaha mencari efek memakan makanan rumahan bagi kesehatan. Hasilnya menemukan bahwa orang yang makan makanan rumah minimal 5 kali seminggu memiliki kemungkinan 47% lebih besar dapat berumur panjang.

Penelitian ini dilakukan selama 10 tahun untuk melihat kebiasaan hidup orang-orang di Taiwan yang berusia 65 tahun ke atas. Dari seluruh peserta, 31% di antaranya mengaku menyiapkan sendiri makanannya di rumah setidaknya 5 kali dalam seminggu. Sebanyak 17% memasak tidak lebih dari 2 kali dalam seminggu dan 9% memasak di rumah 3 - 5 kali per minggu. Sisanya sebanyak 43% mengaku tidak pernah makan di rumah.

Ketika menindaklanjuti penelitian 10 tahun berikutnya, peneliti menemukan bahwa peserta yang masih hidup kebanyakan adalah yang lebih sering memasak sendiri makanannya di rumah. Peneliti menduga kebiasaan ini merupakan faktor yang signifikan bagi kondisi kesehatan dan umur panjang.

"Peserta yang lebih sering memasak memiliki pola makan yang lebih baik. Kami menemukan orang-orang ini memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik mengenai gizi dibandingkan yang tidak memasak sendiri makanannya di rumah," kata peneliti, Profesor Emeritus Wahlqvist Mark dari Monash University seperti dilansir situs resmi Monas Univesity, monash.edu, Senin (11/6/2012).

Menurut prof Mark, memasak adalah kegiatan yang membutuhkan kesehatan mental dan fisik yang baik. Makanan yang dimasak sendiri di rumah jelas lebih sehat dan jelas kandungan gizinya. Tak hanya itu, memasak sendiri juga memiliki manfaat lain mulai dari membeli bahan makanan, mempersiapkan makanan dan saat makan karena kebanyakan ditemani orang lain.

"Kami menemukan bahwa orang yang sering memasak memiliki pola makan yang lebih baik dan mendapat asupan nutrisi yang lebih bermanfaat. Oleh karena itu, mungkin memasak berkaitan dengan umur panjang lewat pilihan dan kualitas makanan yang disajikan," kata prof Mark.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa wanita yang memasak makanan dalam sebuah rumah tangga hidup lebih lama daripada pasangan prianya. Hal ini menunjukkan bahwa wanita lebih mendapat manfaat kesehatan dari memasak untuk orang lain.


Sumber : detik.com

Awas, Tontonan Porno bisa ‘Matikan’ Separuh Otak Anda


SPONSORED BY
Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal
KLIK GAMBAR ATAU DI SINI UNTUK BERGABUNG

TEMPO.COAmsterdam – Kita telah lama mendengar bahwa merangsang diri sendiri secara seksual pada anak-anak bisa berisiko kebutaan. Kini efek yang hampir sepadan menjadi risiko bagi orang dewasa yang suka merangsang dirinya.
Penelitian terbaru menunjukkan menonton film porno benar-benar dapat mematikan bagian otak yang memproses rangsangan visual. Setidaknya, hal ini terjadi pada wanita.
Sebuah tim dari University of Groningen Medical Centre di Belanda mengamati kortek visual primer dari 12 wanita premenopause. Mereka sebelumnya dinyatakan dalam kondisi  sehat, berorientasi heteroseksual, dan tugas mereka selama penelitian hanyalah menonton tayangan adegan ranjang.
Para wanita yang diteliti ada dalam kondisi terkontrol secara hormonal serta terkait gairah seks sesuai siklus menstruasi mereka. Selama penelitian, aktivitas otak mereka dipantau menggunakan positron emission tomography (lebih dikenal sebagai PET scan).
Mereka kemudian disuruh menonton tiga tayangan, yaitu film dokumenter tentang kehidupan laut di Karibia, adegan “pemanasan” sebelum bercinta, dan adegan persenggamaan eksplisit.
Hasil scan menunjukkan bahwa film erotis paling eksplisit, salah satu yang menampilkan oral seks dan persenggamaan, menghasilkan jauh lebih sedikit darah yang dikirim ke korteks visual primer. Efek yang sama terlihat ketika orang diminta untuk melakukan tugas non-visual, seperti mengingat kata-kata, saat mereka juga menonton beberapa jenis rangsangan visual.
Dalam keadaan biasa, ketika menonton film atau melakukan tugas visual lainnya, darah ekstra mengalir ke korteks visual.
Uroneurologis Gert Holstege, salah satu anggota tim peneliti, menyatakan kepadaLiveScience bahwa otak lebih fokus pada gairah seksual dari pemrosesan visual selama aktivitas menonton film. “Anda harus menyadari bahwa otak membutuhkan cadangan energi sebanyak mungkin. Maka, jika ada beberapa bagian otak tidak difungsikan, cadangan itu segera turun, ” katanya seperti dikutip Daily Mail.
Dia menghubungkan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan otak bisa cemas atau terangsang, tapi tidak keduanya. Selama kegiatan orgasme, daerah otak yang berhubungan dengan kecemasan turun tajam, kata Holstege. “Inilah yang menjelaskan mengapa wanita dengan libido rendah sering menderita kecemasan.”
Penelitian itu juga membuahkan simpulan lain: ‘Jika Anda ingin berhubungan seks, Anda perlu menghasilkan situasi yang aman bagi wanita,” katanya.

GRATIS PLUS HADIAH

Hosting Gratis